Selamat Pagi Kota Baginda Kami



Pagi itu tepat tanggal 11 Januari 2018 saya menginjakkan kaki di kota Madinah, kota Baginda Nabi yang diberkahi. Dengan suhu kurang lebih 17 derajat celcius dan wajah yang tampak lelah, saya masih bersemangat mengabadikan momen-momen penting yang baru kali itu saya alami. Ya, pagi di negeri orang.

Kesan pertama yang muncul di benak saya tentang kota ini adalah "Dinginnya yang cukup menusuk tulang", sehingga kulit saya menjadi kering dan bersisik karena kehilangan kelembaban alaminya, ditambah hidung saya yang mulai berdarah, maklum saja karena saya anak tropis Karawang yang tidak terbiasa dengan udara dingin.

Sesampainya di hotel tempat kami menginap, saya lebih memilih untuk membungkus diri dengan selimut karena meski didalam ruangan pun rasanya tidak jauh berbeda dengan udara di luar. "Tidak turun salju saja dinginnya sudah begini, apalagi turun salju. Brrrrrrr...." Pikirku.

Salat Dzhur Pertama di Masjid Nabawi


Saya datang ke Tanah Arab ini memang bukan sekedar jalan-jalan, melainkan untuk melaksanakan ibadah umrah, jadi sangat disayangkan jika saya harus melewatkan shalat di Masjid Nabawi meski satu waktu shalat saja. Berhubung masih baru pertama kali umrah, saya sedikit terlambat dan akhirnya tidak kebagian shalat di dalam mesjid, terpaksa saya shalat di pelatarannya, meski di pelataran tetapi tidak terasa panas karena Masjid Nabawi difasilitasi dengan payung raksasa yang kurang lebih tingginya 20 meter dan lebar 25 meter yang bisa dikendalikan secara otomatis agar bisa terbuka dan tertutup pada waktu yang ditentukan, jadi saat siang hari atau musim dingin, payung raksasa ini hampir tidak pernah ditutup.

Ada beberapa pelajaran yang bisa saya ambil dari perjalanan saya ini, yang pertama adalah bagaimana saya harus menghargai waktu, bangun jam 3 dini hari, datang ke masjid minimal 30 menit sebelum adan ( itu pun sudah harus rela salat di luar hehehe) harus bisa menyempatkan diri cuci pakaian diantara padatnya kegiatan selama di Madinah, dan lain sebagainya.

Pelajaran kedua adalah bagaimana saya melatih kesabaran, jangan baper! Tempat sesempit apapun selama badan saya muat, ya saya harus sabar, saya tidak boleh marah atau jengkel saat ada orang lain nyelip di tempat salat saya, atau saat saya sedang santai duduk di barisan shaf salat lalu ada orang lain (orang luar) lewat dan menyentuh kepala saya, saya tidak boleh marah walaupun di Indonesia kepala adalah anggota tubuh paling mulia yang tidak sembarang orang bisa menyentuhnya iya kan? hehehe

Pelajaran ketiga adalah saya sangat kagum dengan saling berlomba-lombanya orang-orang disana dalam berbagi dengan tanpa memandang warna kulit dan ras. Hampir dalam setiap waktu salat ada saja yang membagikan kurma atau permen meski hanya 1 biji saja. Maa syaa Allah, mungkin mereka sangat faham begitu besarnya pahala berbuat baik di Masjid Nabawi sehingga mereka mau berlomba-lomba dalam kebaikan.

Semoga tulisan ini bermanfaat!




BACA JUGA:
Pagi itu di Masjid Quba

You May Also Like

0 komentar